sumber gambar: www.tomorrowsreflection.com |
Ungkapan ini tidak dapat dikatakan salah secara harfiah. Analoginya, agama dan politik tidak dapat dicampur-adukkan sebagaimana tata cara shalat tidak dapat dicampur-adukkan dengan shalat itu sendiri. Mengapa?
Tata cara shalat dan shalat adalah dua hal yang berbeda yang konteksnya tidak memungkinkan keduanya untuk dicampur-adukkan. Tata cara shalat merupakan aturan dan shalat adalah kegiatan yang diatur dengan tata cara shalat tersebut. Dengan demikian, adalah bukan hal yang logis untuk mencampur-adukkan tata cara shalat dan shalat. Tapi adalah hal yang lebih tidak logis untuk melaksanakan shalat tanpa menerapkan tata cara shalat, tentunya terkecuali bagi muallaf di awal keislamannya.
Sejalan dengan hal tersebut, apakah mungkin mencampur-adukkan politik dan agama? Menurut saya tidak dan seharusnya tidak.
Agama (baca: Islam) dapat dianggap sebagai tata cara berkehidupan bahkan 'berkematian'. Salah satu aspek kehidupan yang diatur dalam agama adalah politik. Maka sekali lagi jelas bahwa politik dan agama tidak dapat dicampur-adukkan. Agama dan politik masing-masing memiliki posisi dan peran yang berbeda. Nilai-nilai agama mengatur politik dan seyogyanya diterapkan dalam kehidupan berpolitik. Hal ini tidak dapat dibalik sehingga menjadikan kehidupan agama diatur oleh prinsip-prinsip politik. Itulah bahaya dari mencampur-adukkan politik dan agama.
Akan tetapi, benarkah maksud secara harfiah itu yang mengiringi ungkapan "Jangan mencampur-adukkan politik dan agama"? Sebenarnya, jika mengingat kembali isu panas yang mengakibatkan ungkapan ini populer, maka ungkapan ini lebih tepat bermakna "Pisahkan agama dari politik". Sungguh ungkapan yang sangat berbahaya dan merefleksikan bagaimana ideologi orang yang mengucapkannya. Makna ini juga menjadikan ungkapan tersebut adalah hal yang sangat aneh jika keluar dari lisan seorang muslim.
Logika dasar yang kembali saya ingatkan adalah hal yang mustahil melaksanakan shalat tanpa menerapkan tata cara shalat. Begitupun, hal yang mustahil menjalani kehidupan berpolitik dengan menghilangkan nilai-nilai dan ajaran agama. Bukankah sudah jelas catatan sejarah mengabadikan bagaimana kehancuran khilafah islamiyyah terakhir di negeri Turki? Prinsip Kemal Attaturk untuk memisahkan politik dan seluruh sendi kehidupan dari agama Islam telah merubah Turki dari negeri Muslim terbesar menjadi negeri yang sangat tidak manusiawi bagi umat Islam. Maka apakah prinsip ini adalah layak menjadi prinsip seorang muslim?
Wallahu a'lam
catatan: tulisan ini hanya tulisan dari sudut pandang logika.
Adinda Kamilah
Komentar
Posting Komentar