Math-Mate - Semua orang membicarakan bagaimana anak-anak saat ini harus dididik dan dilatih untuk berpikir kritis. Banyak yang menyangsikan bahwa kompetensi ini sudah diajarkan di sekolah sedangkan para pendidik pun seringkali tidak dapat menjelaskan bagaimana proses pembentukan kemampuan ini mereka ajarkan di kelas. Apakah diksi berpikir kritis tepat untuk saya gunakan dalam tulisan kali ini?
Seringkali saya dihadapkan dalam posisi diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan tidak menemukan satu pun pertanyaan untuk diajukan. Sebenarnya, untuk apakah pertanyaan diajukan? Apakah untuk mendapatkan kesan pintar ataukah untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan? Tentu jawabannya adalah yang kedua, yaitu untuk mendapatkan informasi. Setelah mengetahui tujuan ini, pertanyaan jadi lebih mudah hadir dalam kepala dan pertanyaan pun menjadi sarana menyenangkan untuk bisa mendalami informasi dari objek yang sedang dibicarakan. Lalu, apa hubungannya dengan berpikir kritis? Tadi kan aku sedang membahas berpikir kritis ya.
Mari kita kembali ke dalam kegiatan yang terjadi di ruang kelas. Seorang pendidik berperan sebagai pengatur skenario dalam kelas melalui kegiatan yang diciptakannya. Pendidik harus menciptakan alur kegiatan yang dapat membawa peserta didik untuk masuk dalam materi yang dipelajari hingga dapat memahami pelajaran dengan utuh. Untuk tujuan ini, pendidik memimpin dialog dalam kelas salah satunya pendidik perlu banyak mengajukan pertanyaan untuk peserta didik jawab. Kegiatan tanya jawab di mana pendidik bertanya dan siswa menjawab adalah hal yang sangat lumrah terjadi di kelas. Dalam situasi ini, banyak peserta didik yang dapat menjawab tetapi banyak juga peserta didik yang tidak dapat menjawab. Lalu, peserta didik yang tidak dapat menjawab, dalam kacamata evaluasi pendidikan kuno, akan mendapatkan catatan ketidakberhasilan dalam belajar sehingga perlu mengulangi pelajaran atau mengulangi kegiatan menjawab pertanyaan lagi. Jika peserta didik yang dapat menjawab dilabeli tidak berhasil belajar, maka apakah peserta didik yang dapat menjawab bisa dipredikatkan berhasil belajar? Apakah peserta didik yang dapat menjawab ini akhirnya dapat dikatakan sudah mampu berpikir kritis?
Selain proses pendidik bertanya dan peserta didik menjawab, terdapat kegiatan lain yang kerap dilakukan di kelas, yaitu pendidik meminta peserta didik untuk bertanya. Apa tujuan pendidik meminta peserta didik bertanya? Meskipun pendidik sudah dilatih untuk mengevaluasi hasil belajar, pendidik tetap membutuhkan peserta didik untuk menunjukkan seberapa paham mereka terhadap topik yang sedang dibahas. Pendidik atau mungkin hanya saya, yang kebetulan juga merupakan pendidik, berasumsi bahwa peserta didik yang tidak dapat menjawab pertanyaan seharusnya mengetahui di bagian mana dari pelajaran yang belum mereka pahami. Pendidik juga mengasumsikan bahwa bertanya adalah cara mudah bagi peserta didik untuk bisa mendapatkan pemahaman mereka. Tetapi kenyataannya adalah kegiatan peserta didik bertanya merupakan salah satu kegiatan yang sangat jarang ditemui di ruang-ruang kelas pada umumnya. Peserta didik pada banyak waktu tidak dapat menemukan apa yang perlu mereka tanyakan meskipun mereka tidak dapat menjawab pertanyaan dari pendidik. Logika bahwa peserta didik yang tidak dapat menjawab seharusnya mengajukan pertanyaan adalah sebuah kesalahan karena mengajukan pertanyaan sebenarnya menuntut kemampuan untuk memahami juga. Jika diamati lebih teliti, banyak peserta didik yang dipredikatkan sudah memahami pelajaran pun tidak dapat membuat pertanyaan. Hal inilah yang luput dari usaha pendidik untuk melatih peserta didiknya yang sebenarnya merupakan bagian dari kemampuan berpikir kritis yang diabaikan.
Sangat jarang pendidik mengajarkan peserta didiknya untuk mampu bertanya. Pada proses menjawab pertanyaan, pendidik sudah sangat memahami langkah demi langkah yang perlu dilakukan. Tetapi banyak pendidik yang tidak menyadari bagaimana langkah menyusun pertanyaan sehingga akhirnya mereka pun tidak pernah mengajarkannya pada peserta didik. Padahal rumus dasar dan sederhana untuk membuat pertanyaan adalah 5W+1H yaitu What, Who, Why, When, Where, How. Peserta didik perlu diajarkan untuk menilai apakah dirinya sudah memahami melalui pertanyaan-pertanyaan ini. Mereka perlu menelaah apa maknanya, siapa yang terlibat, mengapa demikian, kapan terjadinya, di mana dan bagaimana. Sebagai contoh, dalam pembelajaran bentuk aljabar, peserta didik mengkontruksi pemahamannya dengan mencari tau apa itu bentuk aljabar, siapa/apa yang terlibat dalam membuat bentuk aljabar, mengapa bentuk aljabar dibuat, kapan bentuk aljabar perlu dibuat dan digunakan, di mana bentuk aljabar dapat dimanfaatkan, serta bagaimana membuat bentuk aljabar ini. Jika terdapat satu saja dari pertanyaan ini yang belum dapat dijawab peserta didik, maka peserta didik perlu menanyakannya pada pendidik. Begitu juga dengan pendidik, pendidik harus berusaha menciptakan kegiatan yang dapat memfasilitasi peserta didik untuk dapat menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Lalu jika dalam maupun setelah prosesnya siswa belum memiliki pemahaman ini secara lengkap, mereka dapat lebih mudah memetakan bagian mana yang perlu mereka tanyakan.
Kembali ke pembahasan di awal, di sini saya melihat bahwa banyak peserta didik yang memang tidak diajarkan untuk berpikir kritis. Berpikir kritis adalah proses menghubungkan ide-ide untuk mengenali dan menilai sebuah objek/fenomena. Agar peserta didik mampu berpikir kritis, mereka harus mampu menyusun pertanyaan-pertanyaan 5W+1H yang menjadi dasar untuk mengenali fenomena. Inilah yang kemudian dapat menjadi landasan untuk peserta didik menilai fenomena tersebut dan menyusun argumen untuk mendukung atau menyanggah fenomena yang diungkapkan. Nah, jadi apakah kerangka berpikir 5W+1H ini sudah dilatih di sekolah? Apakah peserta didik sudah dilatih untuk dapat bertanya? Apakah peserta didik sudah dididik untuk berpikir kritis?
Adinda Kamilah.
Komentar
Posting Komentar